Langsung ke konten utama

Merindukan Ta'mir Idaman

Merindukan Ta'mir Idaman
..
Ta'mir memiliki pengertian yaitu seseorang yang mengurusi masjid nama lainya adalah marbot. Biasanya terstruktur dan memiliki bagianya masing2 dalam merawat dan memakmurkan masjid. Kosong, satu kata yg kini pas untuk mewakili keadaan masjid yg dulu ramai para santri lalu lalang beribadah dan mengaji. Maklum saja, kini para santrinya telah hijrah ke kampung halamanya masing2, mencari arti dan jati diri.
..
Dalam arus sejarah, masjid ini telah banyak bercerita bagaimana asyiknya mengaji, jadi tempat bernaung, bersih-bersih, tempat perkumpulan, cerita misteri dan lainya. Di tambah lagi airnya yang deras membuat siapa saja betah di buatnya.
..
Setiap kali aku bermain, mengunjungi masjid yg megah ini, yg selalu terlihat dari sudut jalan raya, kini yg ada hanya sepi dan untaian kenangan yg masih rapi dalam benak dan memori. Tapi memang benar sihh kehidupan itu fluktuatif, kadang di atas kadang di bawah. Seperti halnya Islam sudah mengalami jaya dan sekarang sulit mengulangi masa keemasan itu.
Sama hal nya masjid ini dulu gemilang sekarang seperti menghilang. hehe
..
Lagi-lagi soal pemuda. Alias generasi penerus. itulah kuncinya.
Sekarang pemudanya sudah tak mau lagi berinteraksi dengan masjid, padahal Allah bersama orang-orang yang memakmurkan masjid. Karena salah satu yang akan di naungi rahmat Allah di akhirat adalah pemuda yg hatinya terpatri untuk masjid. Sebenarnya sihhh tidak hanya yg muda yg tua saja banyak gak sadarnya. hehe
..
Semoga saja ada generasi yg IKHLAS mendermabaktikan hidupnya untuk memakmurkan rumah Allah di bumi. Biar syiar Islam terdengar lagi dengan suara adzan dan lantunan bacaan kitab suci.
Berbanggalah kamu yg masih di percaya Allah ngurusi rumahnya.
#Salam budaya
#Wokolicious

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde