Langsung ke konten utama
Petani & Tengkulak
..
Bang Woks
Kata bapak saya menjadi petani itu bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah jalan yang telah Allah swt gariskan buat kita, sekarang tinggal kita saja, bagaimana upaya untuk menyikapinya. Bukan kah ini adalah pilihan yang bijak. Karena kita di pilihkan langsung oleh Tuhan yang maha esa. Sekarang tinggal lakukan dengan ikhlas, berusaha dengan keras dan mendapatkan hasil dengan mawas.
Banyak mengeluh, penuh harap, terus memompa doa adalah sebuah tabiat manusia dan itupun Allah sangat suka. Karena doa itu muhul ibadah, doa adalah otaknya beribadah. Sehingga setelah adanya usaha tani itu, selebihnya serahkan semua kepada Allah. Upaya kita dalam merawat padi, memupuknya hingga tiba masa panen adalah salah satu langkah petani yang bersifat profan, tentu hal yang bersifat sacred, semua kita serahkan kepada Allah.
Kata bapak, jika petani tidak di setir dengan kendaraan keberpasrahan kepada Allah tentunya hal itu bisa berakibat buruk pada sikap ketegaran dalam batin kita. Banyak kasus yang sudah kita ketahui seperti pada tahun 60an para petani di Indramayu mengalami pingsan massal karena mereka tahu tanaman padinya gagal panen karena hama wereng yang melanda (sumber: film Bisa Dewek). Jika hal itu tidak di imbangi rasa pasrah kepada Gusti Allah tentunya hal itu bisa menjadi harakiri alamiyah yang di lakukan petani.
Ada juga contoh lainya, yaitu permainan harga oleh para tengkulak atau dalam bahasa dermayu adalah bandar. Mereka dengan mudahnya membolak-balikan harga gabah, padahal usaha petani sudah mati-tian dalam merawat padinya. Di tambah lagi harga pupuk yang terus melangit dan iklim yang kini tidak menentu. Sehingga menjadi petani itu kadang kala harus benar-benar siap menelan pahitnya kehidupan. Coba saja distributor subsidi pemerintah bisa tersebar tepat tentunya masyarakat akan merasa senang. Di tambah lagi harus ada regulasi yang mengawasi adanya bandar-bandar ilegal yang kian hari kiat menyulitkan petani.
Tentu dengan kondisi tersebut kita ingat ketika Soekarno berjumpa dengan petani bernama Marhaen yang juga mengilhami ideologi Marhenisme lahir sebagai sosialisme dalam parkteknya. Dimana petani tersebut mengalami kepayahan hidup yang amat miris, bayangkan saja ia adalah petani kecil yang telah terinjak oleh praktek feodalis dan imperialis, pada saat itu. Dan zaman sekarang masih ada sisa dari puing-puingnya. Dimana yang kaya terus memeras yang miskin hingga di melaratkanya mereka. Dari hal itulah kita tahu bahwa petani perlu perlindungan. Mereka memiliki hak yang sama untuk bahagia.
Ada pesan yang di sampaikan para petani bahwa seberat apapun menjadi petani tentu ini adalah pekerjaan mulia yang telah di wariskan turun temurun sejak zaman nenek moyang. Jika anda ingin merasakan kehidupan yang sesungguhnya, jadilah petani.
#Salam_Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde