Langsung ke konten utama
*Nyai HJ. Masriyah Amva; sang sufi wanita dari Cirebon*
..
Beliau lahir di Pesantren Babakan 13 Oktober 1961 dari pasangan KH. Amrin Hanan dan Ny. Hj. Fariyatul ‘Aini Rohimahumallah. Beliau menikah dengan KH Syakur Yasin dan pernah tinggal di Tunisia, dan berpisah. Lalu beliau menikah lagi dengan KH Muhammad (akang) hingga mendirikan pondok kebon jambu al-islamy.
..
Perjalanan mencari ilmu beliau begitu panjang diantaranya ke Pesantren Al-Muayyad Solo, Pesantren Al-Badi'iyyah Pati, Jawa Tengah, dan Pesantren Dar al-Lughah wa Da'wah di Bangil, Jawa Timur. Puncak kesedihan beliau yaitu ketika wafatnya sang suami KH Muhammad pada 2007 hingga yg terbaru yaitu wafatnya putra beliau KH Asror Muhammad. Walau demikian beliau mewariskan semangatnya para kiai itu.
Jika perempuan semangatnya seperti para lelaki maka ia akan hidup dan semangat maka dari itu hidup dan semangat adalah keimanan. Jika perempuan tidak berdaya maka pakailah daya Allah hal itu di pinjam agar menguatkan bahwa perempuan juga bisa memimpin pesantren. Terbukti bahwa walau beliau perempuan, kini beliau mampu meneruskan kepemimpinan pesantren dengan santri yg berjumlah ribuan. Walaupun banyak orang yg tidak percaya akan hal itu.
..
Beliau juga selain sebagai pengasuh pesantren, sebagai ibu, sebagai ulama, juga sebagai penulis buku diantara bukunya yakni; Bangkit Dari Terpuruk, Menggapai Impian, Indahnya Doa Rasulullah, Meraih Hidup Luar Biasa, Rahasia Sang Maha, Akang Dimataku, Suamiku Inspirasiku, 3 Antolog Puisi Ketika Aku Gila Cinta, Setumpuk Surat Cinta, Ingin Di Mabuk Asmara. Itulah salah satu keproduktifan beliau dalam berkarya. Kebanyakan karya beliau bercorak sufistik. Sehingga seluruh kata dan kalimatnya mengandung nilai rabbaniyah.
..
Ini adalah salah satu goresan pena beliau ketika sang suami tercinta wafat meninggalkan beliau, keluarga dan santrinya. Begini bunyinya.
_Maafkan bukan aku tak bersedih atas ketiadaanmu, namun sejuta kebutuhan telah membunuh rasa sedihku._
_Maaf bukan aku tak menangis atas kepergianmu, namun langkah di depan telah membunuh tangisku._
_Maafkan bukan aku tak menyesal atas ketiadaanmu, namun beban-beban berat di pundaku telah membunuh rasa sesalku._
..
Setelah ketiadaan para suami alias kiai maka beliau bersandar hanya kepada Allah. Ternyata sandaran itu tidak salah, dan para lelaki itu bersandar kepada Allah dan betapa bodohnya jika wanita bersandar kepada laki-laki. Persandaran ini menjadikan saya yg tadinya tidak tampak menjadi tampak karena saya bersandar pada sang maha segala. saya yg tadinya nampak kecil kini menjadi besar karena bersandar pada sesuatu yg besar dan saya yg hina dina menjadi tampak mulia karena bersandar pada Allah yg maha mulia.
..
Ada lagi puisi berjudul Ajari aku tentang kebesaran dan kemulianMU.
_Tuhan ajari aku untuk menggapai kebesaran dan ajari aku untuk selalu ingin menggapainya karenaMu_
_Tuhan ajari aku untuk menggapai kemuliaan dan ajari aku untuk selalu bertindak mulia karenaMu_ _Tuhan ajari aku mengerti bahwa kebesaran dan kemuliaan adalah milikmu hingga aku mengerti bahwa itu adalah busanamu_
_Dan sama sekali tak layak ku sentuh hingga aku selalu menyadari bahwa kemuliaan dan kebesaran sebuah anugerah bukan prestasi_ _Hingga aku mengerti bahwa itu semua adalah sesuatu yg tiada arti kecuali atas kasihMu_
..
Puisi-puisi tersebut di bacakan ketika Halal bi halal, 40 hari wafatnya KH Asror Muhammad (Ang Asror), Launcing Ma'had Aly dan peresmian gedung FOKAL (Forum Komunikasi Alumni) Ponpes Kebon Jambu al-Islami Babakan ciwaringin yang di hadiri KH Musthofa Bisri. Tentunya kita dapat belajar dari beliau yg penuh dengan inspirasi.
..
Walaupun saya bukan santri kebon jambu, tapi secara ruhani saya ingin sambung ilmu ke sana. Semoga Allah berkenan memberikan barokah dan hidayah kepada siapa saja yang mencintai ilmu dan tempatnya, seperti para santri dan alumni yg selalu mencintai pesantren jambu ini. Amiin..
#Salam budaya
#Wokolicious

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde