Langsung ke konten utama
Bertamu kepada Manusia
..
Beberapa waktu yang lalu saya dan rombongan main kerumah teman dan di niati bertamu sekaligus silaturrahim. Kaidah yg kami gunakan ketika bertamu adalah dimana bumi di pijak di situlah langit di junjung, artinya apa?, artinya seorang tamu haruslah memahami adat budaya orang rumah dan wajib kita menghormatinya.
..
Maka antara tamu dan tuan rumah saling menghormati satu sama lain. Menerima tamu atau menghormati tamu dalam bahasa Arab disebut “akrimud duyuf”. Yang saya ketahui dari daerah yang saya singgahi (Tulungagung dan sekitarnya), bertamu itu namanya dayoh, jadi begini ("jenengan dayoh ten pundi?.."ohh kulo dayoh ten dalemipun bapak/ibu A, B, C..").
..
Bertamu dalam Islam pastinya sangat di atur sekali, karena hal itu masuk dalam moralitas agama. Islam mengatur bertamu, seperti; niat yg baik, meminta izin, mengucapkan salam terlebih dahulu, memberitahu sebelumnya, mengetuk pintu 3 kali, bicara dengan sopan, berjabat tangan, dan tentunya jangan kelamaan.hehe
Yang menerima tamupun memiliki standarisasi etika, seperti menyambut, menjamu dan pastinya memuliakanya.
..
Yang saya tahu bahwa ketika bertamu di rumah orang jawa, biasanya di sambut dengan ramah dan di suguhi jamuan yg banyak (sudah ada segala macam kue ehh di tambah pula di suruh makan). subhanallah.
Makanya saya paling malu (sedikit bahagia) jika di ajak ke rumah temen orang jawa, pastinya di suruh makan. Tapi kata temen saya, ya tinggal ikuti saja, niscaya tuan rumah akan senang. Kalo saya mah manut mawon, (lek di kengken tanduk maleh, nggih purun hehe). Niat menghormati.
..
Maka dari itu orang jawa dan budayanya percis pengamalan hadits ini, ”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah menyakiti tetangganya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berbicara yang baik atau (kalau tidak dapat) hendaknya dia diam”( HR Bukhari dan Muslim).
..
Begitulah yang saya ketahui tentang bertamu. So, ingin awet muda, maka sambunglah silaturrahmi kepada sesama. Apalagi ngajar pramuka...wuuuhh, muda terus, serasa jadi anak-anak lagi.hehe
#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde