Langsung ke konten utama
Petani & Pendidikan
..
Bang Woks
Di rumah tempat saya tinggal bercengkrama dengan petani itu adalah hal yang menarik. Apalagi jika mereka yang memulainya, sungguh hati akan terasa tersenyum ketika mendengar dan menjawabnya. Salah seorang dari bapak petani mencoba bertanya pada saya soal pendidikan. Menurut pandangan mereka, sejauh ini pendidikan tidak menjadikanya apa-apa sehingga kesempatan bertanya pada saya adalah sebuah keharusan.
"Kamu masih sekolah?, jika iya, kenapa masih sekolah? mending jadi pemain bola saja cepet kaya dapat duit banyak. Trus disisi lain presiden sudah ada, mentri, bupati, camat juga sudah ada, lalu kamu mau ngapain lagi?, tanya si bapak dengan nada nderengesan (tawa menghina)".
Akhirnya dengan spontanitas saya pun menjawab "saya masih sekolah pak, karena saya ingin menggantikan apa yang bapak tanyakan tadi". Dari jawaban singkat itu, beliau langsung diam seribu bahasa.
Memang di dekat rumah saya tinggal, orang-orang dengan pendidikan lanjutan setelah SMA/SMK menjadi hal yang mahal dan seperti tiada artinya. Kebanyakan dari anak-anak mereka langsung melanjutkan ke dunia kerja atau merajut rumah tangga. Pendidikan hanya sekedar formalitas dalam hal menghambat aktivitas berat dalam kehidupan di kala anak-anak hingga remaja.
Walau demikian, ada saja petani yang memiliki pandangan yang visioner mengenai pendidikan. Karena menurutnya berilmu pengetahuan luas itu penting di zaman modern ini. Menjadi suatu yang niscaya bahwa esok hari para orang tua akan di gantikan oleh kaum muda. Jangankan pekerjaan yang sementara itu, usia pun memiliki durasi dan kontrak dengan Tuhan yang suatu saat akan di ambil oleh pemilikNya.
Semoga saja pendidikan bisa menyadarkan pola pikir petani yang saya temui tadi menjadi sebuah pemahaman yang baik. Sebab petani dengan pendidikan dan pengetahuan yang luas dapat berfikir universal, bukan hanya sekedar local saja. Karena kita sedang menantang zaman yang super dinamis ini, maka dari itu pengetahuan seputar apapun (termasuk bertani) menjadi hal yang penting. Minimal merubah mindset beku menuju mindset cair yang progresif. Disinilah pentingnya sosialisasi terhadap para petani dan dunia pendidikan.
Pendidikan bukan soal dunia kerja tapi soal pengetahuan. Daya intelektual dalam otak lebih penting dari pada hanya sekedar berdiam diri, berpangku tangan.
#Salam_Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde