Langsung ke konten utama
Cerita dari anak kost kosan
..
Anak kost menjadi fenomena menarik dalam sebuah ruang lingkup masyarakat. Membahas keseharian mereka tentunya tak luput berdurasi hitungan jam. Kita perlu menyelami kehidupanya. Dalam jarak dan waktu yang intens.
..
Anak kos umumnya mereka yg rumahnya jauh, tidak mau di pesantren dan berkecukupan dlm keseharianya. Kehidupan merekapun terkadang lebih glamor dari pemikiranya (mohon maaf tidak bermaksud mendiskreditkan).
Mari kita lihat dari anak kos yg dalam menyikapi hidup dengan prihatin (melihat dan menyesuaikan keadaan). Tapi tidak terlalu mendramatisir pula.
..
Anak kos yg prihatin biasanya sering menyanyi lagu ini "Perjalanan ini
Trasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk
Disampingku kawan
Banyak cerita
Yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan...hoo hoo oo"
Ya..itulah lagu om Ebiet g Ade yg selalu menemani kesepian mereka.
..
Dalam hal makananpun anak kos yg prihatin tidak pernah pilah dan pilih, yg ada apa dan pasti di syukuri. Yang unik ketika mereka masak, umunya anak kos putra wuuu...rasa masakanya tidak karuan 4 rasa sekaligus bercampur disana, namun yg mendominasi pastinya rasa asin (padahal garam lg mahal). Bagi mereka rasa apapun tak apa pokoknya nikmat. Mereka memiliki prinsip pacaran jadi, rasa apapun dalam makanan itu akan terasa nikmat jika kita ingat wajah si dia (katanya).
..
Dalam hal fashionpun mereka memakai pakaian yg sederhana, gak neko-neko.
Dalam hal mandi mereka harus rela antri menunggu teman lain, bergantian nah, dari hal inilah melatih kesabaran.
Sebenarnya masih banyak hal yg kita dapatkan dari mereka. Maka dari itu berteman tidak harus meilih siapa mereka, intinya pasti ada hukmahnya. Maka jadikan dunia kos menjadi wasilah pembelajaran menuju perkuliahan. Buang jauh-jauh stigma negatif yg dulu mengatakan bahwa kos kosan gudangnya hal-hal negatif.
Sekarang saatnya kos kosan di jadikan museum peradaban.
#Salam budaya
#wokolicious

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde