Langsung ke konten utama
Seandainya
*Oleh: Bang Woks
..
Menulis bagi orang yg mahir huuuu...sangat mudah sekali, jangankan 1 paragraf, 1 lembarpun akan sangat mudah. Tapi, bagi orang yg belum terbiasa menulis sekedar status di medsos saja amat sulit. Nah disinilah perlunya pembiasaan dan adanya niat mau belajar.
..
Jika terkait menulis bisa di andai-andai tanpa bersusah payah maka saya akan memilih jalan itu. Sering memang kita berandai-andai dalam fikiran karena memang berangan-angan itu gratis. Namun, awas jangan keseringan, nanti bisa kesurupan. Karena kesurupan bukan melulu perkara gaib melainkan perkara fikiran kosong dan tak ada aktivitas syaraf otak yg bekerja. Sehingga yang timbul peredaran darah menjadi mudah di teraliri syaitan dan kemalasan hehe.
..
Jika saya menerka andai-andai seseorang (khusus yg ingin menulis) pasti hasilnya seperti ini, mereka menginginkan agar bisa menulis, tapi bagaimana menulis yg praktis misalnya, mereka cukup berfikir dalam rangkaian otak lalu hasil fikiran itu tersalurkan dalam sebuah alat yg fungsi alat tersebut dapat menulis sekaligus mengedit sendiri. Mungkin dalam hal ini yg dapat kita bayangkan yaitu sebuah alat canggih yg siapa saja dapat menggunakanya. Triiing....langsung jadi.
..
Ada lagi andai-andai selanjutnya yaitu, mereka menginginkan sebuah karya best seller tanpa harus bersusah payah, cukup dengan kata "seandainya saya menjadi penulis best seller dengan karya yg laku keras berjuta2 eksemplar" dan langsung di kabulkan dengan sim salabim haha.
..
Mungkin hal itulah yg ada pada fikiran sang penulis. Mereka hanya mau berandai-andai tapi tak ada usaha untuk menggapainya. Bukankah hasil itu akan di capai berdasarkan usaha yg mengiringinya. Menjadi seorang penulis bukan perkara yg mudah tapi perlu ketelitian, keuletan, ketelatenan, mau belajar, semangat yg tinggi dan pantang menyerah. Memiliki angan-angan yg tinggi tentu tidak di larang akan tetapi, alangkah lebih baiknya angan-angan itu di aktualisasikan dalam sebuah tindakan, walaupun sebuah tindakan yg sederhana. Menulis itu bukan perkara bakat tapi, perkara kemauan dan pembiasaan. Bukankah hasil makalah juga merupakan hasil menulis?, atau jangan2 copy paste? hehe. Semua orang bisa jadi penulis, sekarang tinggal merenungi saja apa yg sudah ia lakukan?. Saya jadi ingat pesan guru bahasa indonesia dulu waktu di MTs beliau berpesan seperti ini "jika ada orang hanya kebanyakan angan-angan tanpa ada usaha mencapainya maka kiamatlah ia". Ingatlah bahwa Tuhan telah mewarisi fikiran yg cemerlang kepada setiap anak. Jaga dan rawatlah baik-baik.
#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde