Langsung ke konten utama
*Layang-layang ku Sayang*
..
Kapan terakhir anda bermain layangan??atau bahkan belum pernah sama sekali. Kasiihan. Jika belum ayoo coba main !, bila main sendiri tak suka, ajak saja si Dia.hehe.
Layangan adalah permainan rakyat yg sejak lama semua orang kenal. Layangan sendiri memiliki sejarah yg panjang, serta asal muasalnya yg masih debatebel, ada yg mengatakan dari cina ada yg mengatakan dari sulawesi indonesia (lukisan di tembok gua) dll. Dari segi namapun tiap daerah memiliki nama khasnya. Di semenjung malaya di kenal dgn nama WAU, ada juga di jawa PETENG, GAPANGAN, SAWANGAN SENDERAN dan lain sebagainya.
Ada juga istilah dalam metafora sastra yg berkembang mengenai layangan seperti, burung bertali, sang penguasa kemarau, abdi udara, atau naga tanpa mahkota dan lain sebagainya. Dari segi bentuk juga sekarang makin berkembang, mulai dari segi empat paling sederhana sampai berbentuk apapun bisa, termasuk bentuk hati (supaya kekinian).hehe
..
Yang satu ini juga jgn kita lewatkan. Namanya Lei Fie Kiat, memang sih namanya seperti orang taiwan atau jepang, padahal beliau asli Indonesia. Beliau lahir di Bandung 8 September 1954. Tahukah kamu siapa beliau??
Ya beliau adalah sang maestro layang-layang yg telah mengharumkan nama indonesia di pentas dunia kejuaraan adu layangan. Walaupun orangnya sederhana tapi para lawanya dari berbagai negara mengakui kehebatanya, sampai-sampai lawanya dari prancis menjulukinya The Killer. Ingin tahu lengkapnya tentang beliau, silahkan baca di internet atau di laman detik news.
..
Bermain layangan bukan sekedar memegang tali dan menerbangkan layangan itu, akan tetapi di rasa baik jikalau kita tahu makna dan nilainya. Saya kira ada 3 nilai yg dapat kita peroleh dari bermain layangan.
1. Nilai positifnya ialah, memfungsikan semua indra, membuat kita senang akan suasana sore, membuat otak menjadi fresh, membuat jiwa menjadi terampil, sarana hiburan, dapat bersosialisasi dengan pemain yg lain dan tentunya dapat menghangatkan suasana.
..
2. Nilai negatifnya ialah, bermain layangan harus melihat situasi dan kondisinya. Ada yg bermain layangan setinggi mungkin dan sampai malam hari sengaja belum di turunkan, hal ini mengkhawatirkan arus perjalanan pesawat terbang sehingga bisa berakibat mengganggunya. Ada lg yaitu ketika benang turun dan menyangkut di jalan, hal itu dapat mencilakakan orang. Terbukti kakak kelas saya menjadi korbanya. Awaass benang layangan berbahaya..
Jadi kita harus melihat di mana kita bermain layangan itu, seharusnya di tanah lapang itu solusinya.
..
3. Nilai filosofisnya ialah, layangan itu semakin tinggi, maka semakin melawan angin. Artinya apa? artinya kita sadar bahwa dalam posisi kita di ataspun (sukses) halangan rintangan itu selalu ada, lebih lagi yg berposisi di bawah (sedang berjuang). Namun, dalam melawan angin itu di butuhkan ketenangan, sehingga layangan dapat terbang tinggi tanpa takut dan akan nampak cantik bila ia berbunyi dan berpernak-pernik. Layangan mengajarkan kita untuk berani mengambil resiko. Merah darahku dan putih tulangku.
..
Ada pesan yg di sampaikan yg lain dari sesepuh yaitu, tetaplah menjaga tradisi nenek moyang, rawatlah ia jangan sampai punah. Jikapun masih ada tapi generasi mudanya sudah malas dan gengsi, itu sama saja. Ayoo...rawatlah khazanah kekayaan warisan Indonesia.
..
#Salam budaya
#Wokolicious

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde