Langsung ke konten utama

Safinatun Najah: Nasihat kiai kepada santri berumur.

Woks
..
Suatu hari selepas acara sowan ndalem kiai, para santri biasanya di beri bekal atau secara bahasa sederhananya di beri wedjangan kehidupan, ketika ke masyarakat di harapkan santri dapat menjadi pelopor kebaikan.
Pesan kiai ini biasa di sampaikan di hari terakhir pada saat pengajian pasan ramadhan selesai.
..
Ada yg unik dan khusus pada acara terakhir itu yaitu mengenai pesan kiai. Kiai berpesan khususnya kepada santri yg sudah berumur yaitu agar memahami kitab safinatun najah.
Kitab ini ditulis oleh Syeikh Salim bin Sumair al-Hadhrami seorang ulama asal Yaman yang wafat di Jakarta pada abad ke-13 H.
..
Para santri semua bingung mengapa beliau berpesan agar memahami kitab fiqih dasar itu. Padahal dari segi keilmuan kitab kuning khususnya santri senior sudah sampai kitab fiqih yg tinggi seperti fath al muin, fath al wahab, Al-umm, al muzani dll.
..
Dengan bijak sang kiai menjelaskan "santri semua terutama kalian yg sudah berumur, secara psikologis abah paham bahwa kalian sudah waktunya beristri, tapi ingat pekerjaan juga menunjang semuanya. Bapak pesan pada kalian jika mencari calon pendamping hidup harus seperti Kitab Safinah yg memiliki nama lengkap "Safinatun Najah Fiima Yajibu `ala Abdi Ii Maulah" (perahu keselamatan di dalam mempelajari kewajiban seorang hamba kepada Tu­hannya). Insyaallah jika bebet, bobot dan utamanya agamanya baik maka bisa menjadi jalan keselamatan kalian. "intine seng iso di gowo susah, ora nyusahke".
Semua para santri dengan malu-malu menjawab "Njjihh pak kiai". Kitab itu jangan di lihat besar kecilnya, tapi lihat manfaatnya.
..
Pak kiai sangat sadar tentang kebutuhan para santrinya. Beda dengan para ning dan gus yg sudah di siapkan para calon pendampingnya sesuai dengan monarki pesantren.hehe. Kepada para santri semua tolong amalkan ilmu dan ingat pesan bapak itu.
..
BTW soal ilmu saya juga menambahkan yg diambil dari muqadimahnya Ahmad Zarkasih (Jum'at, 24 Mei 2013), yg mengatakan bahwa "siapa yang sedikit Ilmunya, maka Banyak Ngambeknya"

#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde