Langsung ke konten utama
Petani & Pekerjaan
..
Bang Woks
Lagi-lagi topik mengenai petani di kampung saya tinggal tak akan luput harus saya abadikan dalam sebuah tulisan sederhana ini. Kali ini kita akan soroti mengenai pekerjaan.
Menjadi petani bukan sebuah hal yang hina, justru banggalah kita yang terlahir sebagai anak dari petani. Karena dari petanilah kantong dan perut di negeri ini mengerti satu kata dalam kamus kehidupanya yaitu "kenyang". Hidup petani Indonesia..
Di kampung saya tinggal mindset kerja menjadi hal yang utama. Saking vitalnya masalah kerja, para orang tua tani rela menggadaikan apapun asalkan anaknya dapat bersekolah dengan berujung pada di janjikanya lapangan pekerjaan yang luas. Sehingga pola mikir dan orientasi kerja lebih besar tinimbang mindset pemenuhan asupan intelektualitas alias ilmu pengetahuan. Apalagi soal ilmu agama, rasanya jauh dari harapan.
Tidak salah memang hal itu terjadi, karena hidup itu bituh juga pekerjaan sebagai roda yang berputar dalam rangkaian gerbong ekonomi yang terus dinamis. Namun dari hal itu kita dapat menilai bahwa dalam dunia global ini kita bukan memperbanyak produsen atau mencipta lapangan kerja baru, melainkan menjadi konsumen. Dalam bahasa lain, budaya konsumtif kita amatlah tinggi. Sehingga ibarat padi, seperti padi dengan isi yang ringan, alias tak berisi.
Pekerjaan itu penting, namun pengetahuan juga amatlah penting. Ilmu pengetahuan adalah investasi sepanjang masa yang terus mengalir. Jangan sampai pula karena terlalu asyik bekerja kita lupa esensi sesungguhnya manusia sebagi abid (untuk beribadah). Saya juga faham bahwa soal ilmu dan pekerjaan adalah soal pribadi, akan tetapi kita harus ingat bahwa waktu yang Allah swt sediakan buat kita tidak hanya untuk bekerja namun untuk di bagi dengan istirahat dan beribadah, menimba ilmu dan bertafakur. Sejauhmana kita telah berubah dan persiapan apa yang kelak akan kita bawa di kampung akhirat nanti.
Maka dari itu marilah para petani, mari kita berkesadaran diri bahwa orientasi kerja yang berlebihan dapat menyebabkan kita lupa daratan. Ingat bahwa darat dan langit selamanya tak akan memiliki ujung. Dari hal itu pula lah, kita di tuntut agar seimbang antara pekerjaan dan fungsi pemenuhan ilmu pengetahuan dan ibadah, sehingga antara SDA dan SDM terjalin antara harmoni makanan jasmani dan rohani.
"Jika pun aku tak menjadi apa-apa setelah pendidikan ku tentulah aku akan terus berusaha, selagi ini adalah bagian dari jalan Tuhan yang amat panjang dan luas. Mengisi otak dan fikiran agar jernih dan dewasa amatlah sangat penting".
Begitulah pesan guru saya disana. Semoga semua orang tersadar bahwa menimba ilmu itu adalah hal yang teramat penting dari pada menimba harta yang tiada ujungnya. Sebab sampai kapan pun tabiat dasar manusia adalah tak pernah puas. Ingat, sampai kapan pun.
#Salam_Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde